Kamis, 13 Juni 2013
Rabu, 12 Juni 2013
CARA MENGHUBUNGKAN BLOG KE FACEBOOK DAN TWITTER
Salam Damai dan Salam jumpa saya
ucapkan diawal Sharing Pengalaman pada kesempatan kali ini. Langsung saja saya
tidak akan basa-basi. Untuk menghubungkan Blog ke Facebook
dan Twitter sebenarnya ada banyak cara namun saya akan memberikan trik
yang mudah aja yaitu dengan menggunakan twitterfeed. Langkah-langkahnya
sebagai berikut:
2. Klik Register Now akan di direct ke tab Step
1: Create Feed
3. Isi Form yang disediakan :
Email adress : Masukan email Sobat
passsword : Masukan password minimal 6 karakter
passsword : Masukan password minimal 6 karakter
confirm password : Tulis kembali
password tadi
4. Klik Create Account
5. Isi Form yang ada:
Feed Name : Nama blog/situs sobat
Blog URL or RSS Feed URL : Masukan Link Blog Sobat
Blog URL or RSS Feed URL : Masukan Link Blog Sobat
6. Lalu klik Test Rss Fedd
Jika berhasil maka akan ada tulisan Feed Parsed OK dibawah RSS
Feed URL
7. Lalu klik continue to Step 2 (Configure Publishing
Services), Nah untuk tahap ini kita akan memilih kemana nantinya blog
kita akan dihubungkan. Kalo untuk skrang kan kita fokusnya ke Facebook
dan ke Twitter.
8. Untuk ke Twitter à klik Twitter pada halaman Available
Services à klik Authenticate Twitter à Masukan Username dan Password akun Twitter
sobat à Lalu izinkan
aplikasi à (kalau Twitter Sobat
dalam keadaan Login maka tidak usah memasukkan Username)
Kalo sudah, terakhir klik Create Service dibagian bawah.
9. Untuk ke Facebook à klik Facebook pada halaman Available
Services à klik Connect with Facebook à login ke akun Facebook sobat à terakhir klik Create Service.
10.Terakhir klik All Done. Sekrang blog sobat
sudah terhubung ke Twitter dan Facebook sobat sendiri.
SADRKAH ENGKAU BAGAIKAN EMBUN PAGI
Embun, ciptaan Tuhan yang sangat aku sukai. Mataku hanya
bisa melihat sehari sekali di pagi hari. Aku hanya bisa memandangnya
dari jendela kaca kamarku. Dia begitu sejuk, begitu segar, begitu damai.
Setiap kali aku melihat embun, jiwaku merasa tentram, nyaman, dan
bahagia. Dia begitu mempunyai sebuah nilai estetika tersendiri. Maha
karya Tuhan yang menciptakannya sebagai suatu zat yang membawa
kebahagiaan bagi setiap orang.
Begitu juga dengan seseorang yang sudah lama kusukai. Sadarkah dia bahwa
dirinya bagai embun pagi? Aku selalu merasa tentram, nyaman, dan
bahagia jika melihatnya. Diriku sendiri bingung kenapa aku bisa menyukai
sebegitu dalam seperti sekarang ini? Tampan? Ya, dia memang begitu
tampan, tetapi itu bukanlah suatu alasan utama aku menyukainya. Mungkin
karena pribadinya begitu low profile, baik, intelligent, dan
berkharisma. Sebut saja namanya Evan. Orang yang begitu aku kagumi dan
aku puja. Oh iya, sebelumnya aku belum perkenalkan diri. Aku Zafira. Aku
sangat gemar menggambar, menulis, dan bermain musik.
“Hei Zafira, ngapain berdiri disitu, ayo masuk..” teriak Evan
memecahkan lamunanku. Aku menghampirinya dan memberikan senyum manis
kepadanya.
“Gimana kabar kamu, Van?”
“Seperti yang kamu lihat Ra, aku hanya bisa berpangku tangan dengan
obat-obatan ini. Obat hanya memperparah keadaanku. Lihat saja, tidak ada
perubahan”, keluhnya.
“Obat bukan memperparah, Van.. Obat cuma meringankan saja. Kamu harus optimis ya, Van”
“Hei Ra, aku itu selalu optimis. Aku gak cengeng kayak kamu. Aku tau
kok, mata kamu berkaca-kaca liat aku terbaring disini. Halah sudah deh,
ga usah bohong. Aku tau kok. Lagian aku udah terima apa yang di kasih
Tuhan ke aku. Kamu jangan khawatir ya, aku baik-baik aja kok”. Benar
kata Evan, aku memang selalu ingin menangis melihatnya terbaring lemah
seperti ini. Wanita sekuat apapun pasti sedih melihat keadaanya,
termasuk aku.
—
Sudah 1 minggu aku tidak melihat senyum Evan di sekolah. Sangat sepi! Orang yang kucintai harus berjuang melawan kanker otak yang menggerogotinya. Apa? Cinta? Entahlah, aku sangat merasa sedih melihatnya seperti ini. Rasanya aku ingin sekali menggantikan posisi Evan. Setiap hari aku selalu bermunajat kepada Sang Pemilik.
Seperti biasanya, aku selalu menyempatkan diriku untuk pergi menjenguknya.
“Hai, Van. Apa kabar?”
“Baik-baik aja, Ra. Gimana keadaan kelas kita?”. Aku tau Evan berbohong. Aku tau dia sangat merasakan sakit.
“Ya seperti biasalah, Van. Akur… Tapi ada sesuatu yang janggal”
“Loh, apanya yang janggal, Ra?”
“Aku tidak menemukan senyuman kamu, Van.”
“Hahaha, ada-ada aja kamu Fira.. Eh aku punya berita bagus loh. Aku udah
diizinin pulang sama dokter. Aku senang banget. Aku pengen kamu temenin
aku jalan-jalan ke taman. Tempat pertama kita ketemu. Udah lama nggak
kesana.”
“Aku turut senang mendengarnya. Oke bos, aku bakalan temenin kamu. Besok aku datang ke rumah kamu ya? Kita pergi bareng.”
—
Seperti janjiku kepada Evan, aku menjemputnya dan mengajaknya.
“Pagi Evan.” Sapaku
“Pagi juga Zafira. Yuk langsung aja kita ke taman” dia menarik tanganku.
—
Taman ini adalah tempat yang sering kami kunjungi. Segalanya kami lontarkan disini. Taman ini terletak tepat di belakang gedung sekolah kami. Entah apa yang membuat orang-orang jarang mengunjungi taman seindah ini. Di taman ini, begitu penuh dengan bunga-bunga yang indah dan berwarna. Begitu tentram, sejuk dan damai rasanya jika aku berada disini. Sejak Evan di rawat di rumah sakit, aku tak pernah mengunjungi taman ini walaupun jaraknya dekat dengan sekolah. Ada sepetak tanah yang begitu tandus dan kering di taman ini, kami berdualah yang menanaminya dan menatanya dengan begitu indah. Ya… Kami memang selalu kesini untuk merawatnya dan menghabiskan waktu disini.
“Hei Ra… kenapa bunga-bunga ini tampak layu? Apa kamu tidak merawatnya?”
“Maaf Van, mereka layu karena tidak ada embun disini”
“Embun? Maksud kamu?”
“Iya, embun itu kamu, Van. Mereka layu karena tidak ada kamu.” ujarku tersenyum.
Dia hanya terdiam saat aku berbicara seperti itu.
“Mereka merasa tak lengkap jika hanya dengan embun biasa dan aku. Mereka juga merasa kehilangan, Van”, kataku.
Tak sadar, sudah seharian juga kami di taman ini. Evan terlelap
dipangkuanku. Menitik air mataku melihat perubahan fisiknya yang begitu
drastis. Wajahnya yang tampan kini terlihat pucat, tubuhnya semakin
kurus dan rambutnya semakin menipis dan tak berkilap, membuatku ingin
sekali menggantikan posisinya. Aku bangga padanya, dia masih bisa
tersenyum ditengah penderitaannya yang begitu pahit ini. Padahal
sebenarnya aku tau ada kesedihan di balik senyuman itu.
“Fira…” ujarnya pelan.
“Eh, Van, kamu udah bangun? Kita pulang ya, udah mau malam nih”
“Jangan Ra, temenin aku disini. Aku mau merasakan embun membasahi tubuhku.”
“Tapi udara malam gak bagus buat kesehatan kamu, Van”
“Plis, sekali ini aja, temenin aku. Apa lebih baik aku sendiri saja?”
“Eh, jangan Van. Iya deh, aku temenin kamu.”
“Gitu dong baru namanya sahabat aku.”
“Evan…”
“Hmmm?”
“Kamu suka dengan embun?”
“Suka banget Ra, mereka sangat bening dan suci. Aku ingin seperti mereka. Kalo kamu?”
“Aku juga mencintai embun”
“Aku pengen banget seperti mereka Ra.. Mereka selalu memberikan suasana
berbeda setiap pagi dan selalu di tunggu kehadirannya oleh bunga-bunga
ini.” ujar Evan.
“Kamu sudah menjadi seperti mereka kok”
“maksud kamu?” tanya Evan bingung.
“Ehmm, engga. Gapapa.”
Aku merahasiakan perasaanku kepada Evan. Karena aku tau dia pasti tidak akan mengatakan kata “ya” jika aku mengungkapkan perasaanku. Aku tau dia tidak mau berpacaran dulu. Entah apa alasannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Evan terlelap lelah disampingku.
“Van, Evan.. Evan.. Bangun… Katanya mau ngeliat embun? Sudah jam 5 nih Van”, pujukku. Tetapi aku tak mendengar sahutan darinya.
“Ayolah Van, jangan tidur terlalu lama…” Aku mulai resah, apa yang
terjadi dengannya? Kurasakan tubuhnya dingin, tapi aku melepas pikiran
negatifku. Mungkin saja dingin ini berasal dari embun.
“Evan sayang, ayo bangun dong. Jangan buat aku khawatir…”, dia tak juga
menyahut. Tubuhnya pucat, dingin dan kaku. Aku berusaha membawanya ke
rumah sakit dengan pertolongan orang-orang.
Setibanya dirumah sakit…
“Mbak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Sang Pencipta berkehendak
lain. Dia sudah menghadap sang pencipta”, ujar dokter yang menangani
Evan. Aku lemah, jatuh dan tidak bisa berkata apa-apa. Mengapa seindah
ini rencana Evan untuk pergi menghadap Tuhan? Dia membuat skenario yang
indah dengan mengajakku ke taman tempat pertama kami bertemu dan
berpisah. Aku tak sanggup..
Beberapa bulan selepas kepergian Evan, ibunda Evan memberikan surat
beramplop merah muda dengan sebuah gambar embun didalamnya. Aku membaca
surat itu..
Untuk Zafira tersayang… Embun, titik air bening dari langit, membasahi
kelopak bunga yang mekar. Aku ingin seperti embun, disukai banyak orang,
disukai bunga-bunga. Siapakah bunga itu?
Zafira, terimakasih kamu sudah menjadi cinta terakhir di akhir hidupku.
Dan kamu akan tetap menjadi kenangan bagiku. Ra, aku sengaja tak
mengungkapkannya. Sahabat itu lebih berharga dari kekasih.
Oh iya, Ra.. Tetap rawat taman kita y… Aku tak mau mereka layu lagi.
Disana tempat pertemuan kita pertama kali dan terakhir kalinya. Tetap
jadikan aku embun dihatimu ya.. Aku menyayangimu sayang.. Sampai jumpa.
Salam sayang, Evan…
Evan, kamu tau, sejak pertama ketemu kamu sudah menjadi embun dihatiku. Aku ingin menyanyikan lagu Embun kepada kamu.
Dirimu meninggalkanku, saat ku benar-benar mencintaimu. Jejakmu yang semakin menjauh, saat hatiku luluh karenamu. Seharusnya kau ada disini, saatku menangis. Semestinya kau memelukku, saat aku ringkih. Sadarkah engkau bagaikan embun pagi? Yang sejukkan mataku, engkau adalah resah gelisahku. Akankah engkau kan datang menjamah belai rambutku, engkau adalah bayangan diriku… Selamat jalan…
Langganan:
Postingan (Atom)